Logiskah Yang Diutarakan Cania??!
Ligiskah Yang Diutarakan Cania Dalam ILC?
Sekilas mendengar pemaparan Cania Citta di ILC dalam dialog putusan MK terhadap tuntutan masalam LGBT, bagi yang tidak meninjau ulang dengan logis dan teliti akan terbagi kedalam dua kelompok orang. Satu yang pro kepadanya karena terbius kerapihan untaian katanya ala Jurnalis yang sekaligus seorang editor. Bagi yang terbius, tidak peduli isinya benar-benar logis atau tidak menurut alat ukur logika dan realita. Yang kedua, sebetulnya dia juga tidak begitu engeh letak fallacy-nya dimana tapi karena yang dibela Cania adalah yang kontra dengan keyakinan dan ideologinya ia menolak pernyataannya tanpa menelaah dimana letak fallacy-nya.
Karena itulah, kiranya perlu kita telaah letak kelirunya agar dapat kita luruskan dan jangan sampai pernyaataannya yang begitu membius menggelindingkan opini yang berakibat fatal bagi generasi yang tidak begitu peduli dengan masa depannya sendiri apalagi dengan isi pernyataan orang. Asal terlihat memukau dan sekilas logis langsung diterima mentah-mentah yang akibatnya menjadi tersesat.
Baiklah kita mulai dari argumen pertamanya dari sisi medis, disini Cania sejak awal bicara sudah menyeret audiens untuk menerima bahwa ham itu bisa diterima kalau sejalan dengan medis, inti dari ham itu medis itu dapat kita lihat dari ungkapannya, “Kalau kita belum membicarakan ini (sisi medis) nanti akan sulit ketika saya membicarakan argumen dari sisi hak asasi manusia maupun dari sisi moral universal yang saya harap kita pakai di dalam bernegara.”
Didalam ungkapannya itu kalau kita teliti dengan kacamata logika, ia berusaha menyempitkan makna dari ‘medis’ itu. Apa sebab? karena yang tersirat dari ungkapannya medis itu hanya besifat kesehatan fisik semata. Sedangkan kesehatan psikologi diabaikan dan tidak disentuh sama sekali. Padahal diakui atau tidak disamping efek infeksi menular seksual yang berupa penyakit HIV, sipilis dan lain sebagainya, tapi praktek seksual diluar nikah, apapun jenisnya, pun menularkan penyakit psikologis. Karena itulah, Freud menyebut pelaku LGBT dengan istilah invert atau kontra seksual.
Berikutnya fallacy yang, entah sengaja atau tidak, dikeluarkan Cania adalah ia memelintir pernyataan dokter bahwa dokter melarang melakukan seks (yang diartikan oleh Cania sebagai seluruh seks) sebagai solusi infeksi menular seksual. Padahal yang dilarang dokter adalah seks yang berresiko. Itu terlihat dari penganalogiannya dengan melarang naik motor agar tidak terjadi kecelakaan, padahal yang dilarang polisi naik motor dengan ugal-ugalan, bukan sama sekali tidak boleh naik motor.
Fallacy itu segera diluruskan Bang Karni.
Tapi rupanya bukannya berhenti membuat fallacy, malah dengan hebatnya ia membuat fallacy berikutnya yang membuat Bang Karni sedikit kelabakan menjawabnya. Apa itu?
Pernyataan “Nikah tidak berarti safe seks.” dan “Safe seks adalah yang sesuai standar medis” akan menghasilkan kesimpulan “Nikah tidak sesuai satandar medis, dan karena tidak sesuai standar medis maka nikah itu tidak sesuai dengan hak asasi dan moral universal.” Jelas ini adalah pemukauan (fallacy) sekalipun kesimpulannya tidak disebutkan. Pemukauan ini terjadi baik dari segi bahan argumen yang ada dalam premis mayor dan minor yaitu makna kata ‘nikah’ yang digeneralkan dan kata ‘medis’ yang dipersempit, maupun dari susunan silogisme yang melanggar sebagian hukum Aristoteles dalam ilmu logika. Maka tidak heran kalau menghasilkan kesimpulan yang keliru sekalipun premis mayor dan minornya sekilas nampak benar dan logis. Fallacy dari segi bahan argumen yang dilontarkan Cania ini termasuk fallacy of quantity, dimana kalau sebagian dibayangkan seakan-akan keseluruhan atau keseluruhan dibayangkan sebagian maka cara-cara seperti itu mengandung fallacy. Jadi, karena tidak digunakan frasa ‘sebagian nikah’, maka yang terbayang dengan kata nikah adalah semua nikah. Dan kata medis yang disebutkan dalam argumen tersebut seolah medis hanya berhubungan dengan fisik, lebih sempit lagi alat kelamin manusia. Ini jelas pemukauan.
Bahkan dalam pernyataannya “perbedaan antara seks didalam pernikahan dan diluar pernikahan hanya status hitam diatas putih” Ini jelas pemukauan lewat generalitas, dengan ini ia menapikan peran ibu yang mengandung sebagai hal yang alami sayang kepada janin, menghilangkan peran nikah terhadap psikologis dan berbagai nilai positif yang universal lainnya.
Kalau berpikir setajam itu jelas kita tidak perlu sayang kepada yang melahirkan kita, karena kita lahir hanyalah hasil benturan sperma laki-laki dan ovum yang secara acak. Tidak perlu pula berterima kasil kepada yang berbuat baik kepada kita, karena dengan berterima kasih kepada yang membantu kita itu artinya kita tidak lagi merdeka tapi terpaksa harus membantu walaupun dengan alasan ikhlas, ia pun sebetulnya masih terbelenggu terhadap nilai keikhlasan itu baik ikhlas dari sudut pandang agama maupun norma sosial.
Oke. Itulah sementara ulasan saya. Bagi pembaca yang hendak mengoreksi dan atau menambah dipersilahkan.